Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia
1. Hakikat Hak Asasi Manusia
Hakikat Hak Asasi Manusia adalah hak persamaan dan hak
kebebasan. Menurut UU
RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 1, pengertian Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan
yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hakikat
penghormatan dan penegakan HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia
secara utuh melalui aksi keseimbangan antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu
kita dapat menyimpulkan ciri pokok hakikat HAM yaitu; HAM adalah bagian dari
manusia secara otomatis semenjak dia dilahirkan, HAM berlaku untuk semua
orang/universal, HAM tidak boleh dilanggar.
Ciri
pokok hakikat HAM:
- HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.Artinya, HAM tidak perlu diberikan, diminta, dibeli, ataupun diwarisi.
- HAM berlaku untuk semua orang.Artinya, HAM berlaku untuk semua orang tanpa melihat jenis kelamin, ras, agama, etnis, politik, atau asal-usul social dan bangsa.
- HAM tidak boleh dilanggar.Artinya, apabaila HAM dilanggar oleh seseorang atau lembaga negara atau sejenisnya maka akan dikenai hukuman.
2. Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia
a) Periode 1945 - 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak
untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh
pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara (konstitusi) yaitu, UUD 1945. Komitmen
terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 1 November 1945. Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada
rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 - 1959
Periode 1950 - 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia
dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada
periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana
kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof.
Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan
menikmati “bulan madu” kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara
ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan
beragam ideologinya masing-masing. Kedua, kebebasan pers sebagai pilar
demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai
pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, adil dan
demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari
kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan
melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan
pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya
kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 - 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah
sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem
demokrasi parlementer. Pada system demokrasi terpimpin kekuasan berpusat pada
dan berada di tangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, Presiden
melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik
maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah
terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d) Periode 1966 - 1998
Periode ini dikenal dengan masa pemerintahan orde baru.
Pemikiran HAM pada periode ini dibagi ke dalam beberapa waktu yaitu:
- Diadakan seminar yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi, dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia.
- Diadakan Seminar Naional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil yang diberikan kepada Mahkamah Agung guna melindungi HAM.
- Persoalan HAM mengalami kemunduran karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan.
- Pemikiran penguasa saat itu HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
- Dibentuknya lembaga penegakan HAM, yaitu KOMNAS HAM berdasarkan KEPRES Nomor 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
e) Periode 1998 - sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada
tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan
HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa
kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan
HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di
Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan
ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi
dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM. Strategi penegakan HAM
pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan
tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan
beberapa penentuan perundang-undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi
Negara (UUD 1945), ketetapan MPR (TAP MPR), Undang-Undang (UU), peraturan pemerintah
dan ketentuan perundang-undangam lainnya.
3. Dasar Hukum HAM di
Indonesia
Pengaturan
HAM dalam ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat dalam perundang-undangan
yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Empat hukum
tertulis yang menyatakan tentang HAM.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang
4. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah, Kepres, dan lain-lain.
Penjelasan
1. UUD 1945
- Hak atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, Pasal 27 Ayat 1
- Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Pasal 27 Ayat 2
- Hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, Pasal 28
- Hak memeluk dan beribadah sesuai dengan ajaran agama, Pasal 29 Ayat 2
- Hak dalam usaha pembelaan negara, Pasal 30
- Hak mendapat pengajaran, Pasal 31
- Hak menikmati dan mengembangkan kebudayaan nasional dan daerah, Pasal 32
- Hak di bidang perekonomian, Pasal 33
- Hak fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, Pasal 34.
2. Ketetapan MPR
TAP MPR Nomor XVII tahun 1998
3. Undang-Undang
- UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
- UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
- UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
- UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat.
- UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat
- UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- UU Nomor 20 Tahun 1999 Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum Bagi Pekerja.
4. Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Kasus
Dukun Santet di Banyuwangi (1998)
Mengawali tahun 1998, Banyuwangi dilanda isu
dukun santet. Ratusan orang yang dituding sebagai dukun santet, harus meregang
nyawa dengan kematian yang tak wajar seperti; sabetan senjata tajam dan luka
bakar.
Pelakunya pun diduga bukan sembarang orang. Ini
karena ciri-cirinya sepertinya ninja, berpakaian serba hitam, wajahnya ditutupi
kain dan hanya menyisakan sepasang mata tanpa penutup.
Tim Pencari Fakta Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama
(TPF PCNU) Banyuwangi, Abdillah Rafsanjani bercerita, kasus pembunuhan dukun
santet pertama kali terjadi pada Februari 1998. Ketika itu, hampir setiap hari
ada laporan kematian. Tapi, selang empat bulan kemudian, kabar pembunuhan itu
lenyap.
Barulah, pada Juli 1998, muncul kembali insiden
pembantaian terhadap sosok yang dituding sebagai dukun santet. Eksekusinya
sebagian besar terjadi pada malam hari.
“Sebelum ada pembunuhan itu PLN mati beberapa
detik gitu. Jadi kalau dikatakan sistimatis kayaknya begitu pembunuh datang di
tempat, ingat saat itu HP jarang yang ada HT, saat itu listrik mati. Begitu
listrik menyala langsung pembunuhan. Dan itu terjadi hampir di semua
wilayah motifnya begitu pembunuhanya,” kata Abdillah Rafsanjani.
Setelah itu, satu demi satu pembunuhan terhadap
dukun santet kian meluas. Berdasarkan laporan Pengurus Nahdlatul Ulama Cabang
Banyuwangi, korbannya juga merembet ke para ulama, guru ngaji dan pengelola
pondok pengajian.
“Kita ada rapat PCNU pada saat itu seluruh
kekuatan NU diundang, kemudian teman- teman dari Ansor membentuk tim melakukan
investigasi. Setelah melakukan investigasi ternyata pembunuhan tukang santet
itu tidak hanya tukang santet saja mengarah pada pembunuhan guru ngaji
teror-teror pada kyai. Di saat itu kita melakukan sikap pembunuhan tukang
santet itu berubah,” Tambah Abdillah.
Ia juga mengaku tak mengerti, mengapa korbannya
justru meluas hingga ke para ulama yang jumlahnya mencapai 119 orang. Padahal
kata dia, para guru ngaji dan pengelola pondok pesantren itu tidak punya
pengaruh apa pun, termasuk di partai politik.
Tapi bagi Sejarawan Banyuwangi, Suhailik,
pembantaian itu sengaja dilakukan untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
yang saat itu getol mengkritisi Pemerintahan Orde Baru. Bahkan bekas Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu sempat menyebut, aksi pembantaian
tersebut sebagai operasi naga hijau.
“Yang bekingi nasionalis Mega itu kan Gus Dur.
Bahaya kan NU sama PDI bersatu itu bahaya. Maka NU disikat, Gus Dur dihantam
karena yang jadi bekingnya yang berani kan Gus Dur pada waktu itu yang bekingi
Mega. Mega kan kelompok tertindas pada waktu itu, jadi kebetulan teman-teman
yang menjalin hubungan di Indonesia itu kan mulai dulu idiologinya agama sama
nasionalis,” papar Suahilik.
Suhailik juga mengatakan, operasi naga hijau
diduga melibatkan militer. Sayang dugaan itu sulit dibuktikan lantaran
ketiadaan bukti.
Dalam peristiwa tersebut tak ada catatan pasti
berapa jumlah orang yang tewas. Data dari KOMPAK atau Komunitas Pencari
Keadilan, sebuah tim pencari fakta dari LSM dan tokoh masyarakat Banyuwangi
menyebut, korbannya mencapai 174 orang. Sementara, Tim Pencari Fakta Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur mencatat ada 147 orang. Sedangkan
Pemkab Banyuwangi, 103 orang.
Lantas siapa pelakunya? Bekas Anggota Tim Pencari
Fakta Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (TPF PCNU) Banyuwangi, Abdillah
Rafsanjani mengaku, tak ada yang tahu pasti. Orang setempat menyebutnya ninja.
“Pembunuhan tukang santet itu isunya berubah ada
ninja. Jadi setelah kita bersikap, akan kita adili ada ninja. Yang jelas ninja
itu tidak ada kan tidak pernah ditangkap-tangkap itu. Sehingga kita saya selaku
pengurus Ansor pada saat itu sama Pagar Nusa pada saat itu protes kepada
keamaan pada saat itu ternyata tidak bisa ditangkap. Tapi isu pembunuhan,
bergeser pada pembunuhan kiyai dan guru ngaji kan pada saat itu.”
Sementara Kepolisian Banyuwangi tak juga bisa
mengungkap identitas pelaku. Meski sebelumnya, Polisi pernah menangkap 76
tersangka. Dari jumlah itu, 11 di antaranya dipastikan sebagai pelaku utama,
enam penyandang dana dan sisanya adalah pelaku yang hanya ikut ramai-ramai
membantai dukun santet.
Sedangkan penyelidikan terhadap kasus ini sudah
pernah dilakukan Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata saat itu,
Wiranto. Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan ada
indikasi pelanggaran HAM berat.
Sumber: https://m.kbr.id/hermawan/03-2015/menelusuri_sejarah_kelam_pembantaian_dukun_santet_/69092.html
5. Upaya Pemerintah dalam Menegakkan HAM
- Membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM)Komnas HAM merupakan lembaga negara mandiri yang berfungsi sebagai lembaga pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM.
- Membuat produk hukum yang mengatur tentang HAMProduk hukum untuk menjamin kepastian hukum dalam proses penegakan HAM, serta memberikan arahan bagi pelaksanaan proses penegakan HAM
- Membentuk Pengadilan HAMPengadilan HAM adalah peradilan khusus di lingkungan peradilan umum yang memiliki wewenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk yang dilakukan di luar teritorial wilayah Negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.
6. Peran Masyarakat
dalam Menegakkan HAM
- Menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran HAM kepada komnas HAM atau lembaga perlindungan HAM lainnya.
- Mengajukan usulan mengenai rumusan dan kebijakan berkaitan dengan HAM kepada komnas HAM atau lembaga pelindungan HAM lainnya.
- Dengan cara sendiri ataupun berkerja sama dangan komnas HAM melaksanakan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai HAM.
- Menolak dengan tegas setiap terjadinya pelanggaran HAM
Tugas Pendidikan Kewarganegaraan, Kelas X.AK1
Komentar
Posting Komentar